----Support Yayasan DEK with subscribe, like, share and comment-----

Jumat, 6 Januari 2023 0735 WIB Mahasiswa dan pegiat Hak Asasi Manusia HAM membawa poster dan lukisan Munir saat aksi Kamisan dengan tema September Hitam - Mengenang 18 Tahun Kasus Munir di depan Gedung DPRD Malang, Jawa Timur, Kamis 8 September 2022. Dalam pernyataan sikapnya mereka menolak Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Secara Non-Yudisial karena dinilai sarat kepentingan dan hanya akan melanggengkan impunitas. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto Iklan Jakarta - Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu PPHAM telah menyerahkan rekomendasi kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Mahfud PPHAM merupakan tim yang dibentuk Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu pada 22 Agustus 2022. Lantas, apa itu sebenarnya penyelesaian nonyudisial dalam pelanggaran HAM?Merujuk Keppres tersebut, penyelesaian nonyudisial adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM tanpa melalui jalur hukum. Alih-alih mengadili pelaku pelanggaran HAM, metode ini justru menekankan pemulihan korban melalui berbagai bantuan nonyudisial itu ditujukan untuk tiga maksud. Pertama, melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM yang berat rnasa lalu. Kedua, merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya. Ketiga, merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi pada mnasa yang akan dijelaskan dalam Keppres, rekomendasi pemulihan bagi korban atau keluarganya dapat diberikan dalam bentuk rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, dan rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau Meskipun begitu, metode ini menuai banyak kritik. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan KontraS melalui pernyataan resminya memandang bahwa pembedaan antara metode yudisial dan nonyudisial merupakan kamuflase dari lemahnya negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan di IndonesiaKontraS menilai metode ini tak lebih dari upaya pemerintah untuk memperkuat impunitas dan mengabaikan hak-hak dasar korban. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik hukum dari ketentuan yang sudah ada dan sudah REVANDA PUTRABaca juga Kata Mahfud MD Soal Nasib Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Artikel Terkait Hari Kesadaran Penyalahgunaan Lansia Sedunia Diperingati 15 Juni, Apa Tujuan Momentumnya? 1 hari lalu Guru Besar Hukum Siber Unpad Teknologi AI Harus Berbasis Hak Asasi Manusia 5 hari lalu Debat Yudisial dan Nonyudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Marzuki Darusman Jangan Dipertentangkan 7 hari lalu Direktur Jenderal HAM Ungkap Kontribusi Komnas HAM dalam 30 Tahun Terakhir 7 hari lalu KontraS Desak Polda NTT Ambil Alih Kasus Penganiayaan Sipil oleh 3 Anggota TNI AL 10 hari lalu Iran Bebaskan Lagi Tiga Warga Eropa dalam Pertukaran Tahanan 13 hari lalu Rekomendasi Artikel Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini. Video Pilihan Hari Kesadaran Penyalahgunaan Lansia Sedunia Diperingati 15 Juni, Apa Tujuan Momentumnya? 1 hari lalu Hari Kesadaran Penyalahgunaan Lansia Sedunia Diperingati 15 Juni, Apa Tujuan Momentumnya? Momentum itu untuk meningkatkan kesadaran proses budaya, sosial, ekonomi, dan demografi yang mempengaruhi penelantaran lansia Guru Besar Hukum Siber Unpad Teknologi AI Harus Berbasis Hak Asasi Manusia 5 hari lalu Guru Besar Hukum Siber Unpad Teknologi AI Harus Berbasis Hak Asasi Manusia Aspek hukum terkait dengan kemampuan AI untuk menggunakan data personal. Debat Yudisial dan Nonyudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Marzuki Darusman Jangan Dipertentangkan 7 hari lalu Debat Yudisial dan Nonyudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Marzuki Darusman Jangan Dipertentangkan Marzuki Darusman menganjurkan agar pendekatan yudisial dan nonyudisial untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tak dipertentangkan. Direktur Jenderal HAM Ungkap Kontribusi Komnas HAM dalam 30 Tahun Terakhir 7 hari lalu Direktur Jenderal HAM Ungkap Kontribusi Komnas HAM dalam 30 Tahun Terakhir Komnas HAM dibentuk pada masa Orde Baru melalui Ketetapan Presiden Nomor 50 Tahun 1992. KontraS Desak Polda NTT Ambil Alih Kasus Penganiayaan Sipil oleh 3 Anggota TNI AL 10 hari lalu KontraS Desak Polda NTT Ambil Alih Kasus Penganiayaan Sipil oleh 3 Anggota TNI AL 3 Prajurit TNI AL diduga melakukan penganiayaan terhadap Andreas Wiliam Sanda. KontraS meminta Kapolda NTT ambil alih kasus ini. Iran Bebaskan Lagi Tiga Warga Eropa dalam Pertukaran Tahanan 13 hari lalu Iran Bebaskan Lagi Tiga Warga Eropa dalam Pertukaran Tahanan Tiga warga Eropa ini dibebaskan oleh Iran sebagai imbalan pembebasan diplomat Iran Asadollah Assadi dalam pertukaran tahanan yang dimediasi Oman. PBB Soroti Minimnya Perempuan di Jabatan Tinggi Pemerintahan Cina 16 hari lalu PBB Soroti Minimnya Perempuan di Jabatan Tinggi Pemerintahan Cina Perserikatan Bangsa-bangsa, dalam sebuah laporan, prihatin akan tidak adanya perempuan di tengah jabatan tertinggi pemerintahan Cina. Istri Alvin Lim Protes Penyidik Bareskrim Periksa Suaminya saat Sakit 16 hari lalu Istri Alvin Lim Protes Penyidik Bareskrim Periksa Suaminya saat Sakit Padahal, kata Phioruci, Alvin Lim harusnya masih dalam perawatan intensif di rumah sakit akibat mengalami gagal ginjal stadium 5. Jelang Pemilu 2024, Anggota Parlemen Asia Tenggara Harap Indonesia Jamin Hak Ruang Digital 17 hari lalu Jelang Pemilu 2024, Anggota Parlemen Asia Tenggara Harap Indonesia Jamin Hak Ruang Digital Anggota Parlemen Asia Tenggara berharap Indonesia memimpin penegakan HAM di ruang digital, terutama menjelang Pemilu 2024. Dosen Hukum UGM Sebut Kasus Klitih Gedongkuning Bukti Absennya Pendekatan Humanis Aparat 23 hari lalu Dosen Hukum UGM Sebut Kasus Klitih Gedongkuning Bukti Absennya Pendekatan Humanis Aparat Dosen Hukum Tata Negara UGM Herlambang P. Wiratraman sebut kasus salah tangkap klitih Gedongkuning buktikan tak ada pendekatan humanis aparat.

PenyelesaianKasus Pelanggaran HAM Berat Terjebak Kegelapan. Upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia kategori berat makin rumit dan kompleks. Penyebab utama semua itu adalah dedikasi dan komitmen politik hukum penegakan hak asasi manusia yang lemah. News; 08 December 2021 12:30:13 WIB; Editor: Ichwan Prasetyo

Upaya Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham – “Keterlibatan yang benar dari korban atau keluarga korban sangat penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan kebijakan yang dikembangkan mencerminkan keinginan mereka. Ruang masih sangat terbatas. Itu pengalaman Komnas HAM RI,” jelas Ahmad Taufan Damani, Ketua Komnas HAM RI, dalam diskusi publik – Perempuan, Rasisme dan Kekerasan Seksual Pembelajaran dan Tindakan Perbaikan. Memories of May 98 dan Hari Eropa 2021 Komnas Perempuan dan Aliansi Eropa Eksperimen, Keberhasilan dan Tantangan Kamis 06/05/2021 Zoom webinar dan siaran langsung. Ketika berbicara tentang korban pelanggaran HAM, para pembuat kebijakan, pembuat undang-undang, dan pembuat program kerja percaya bahwa para korban siap untuk terlibat. Upaya Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham “Korban selalu diposisikan sebagai objek dan kemudian isu-isu tersebut mengembangkan ide, konsep, norma atau aturan yang mereka anggap sebagai jawaban atas kebutuhan korban. Oleh karena itu, korban tidak dilihat sebagai subjek dalam banyak isu dan ini merupakan masalah yang serius, “Taufan. dia berkata Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham, Komnas Ham Tunggu Aksi Pemerintah Komnas HAM RI, Taufan mengatakan berulang kali menyatakan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan negara harus mendengarkan suara korban atau keluarga korban. Meskipun hal ini telah menjadi dasar konstitusi negara, telah diamati bahwa pembuat kebijakan tingkat pusat, aparat penegak hukum, pemerintah daerah masih belum peka untuk menegakkan kebijakan, peraturan perundang-undangan daerah. Komnas HAM RI terus berupaya memenuhinya melalui berbagai cara dan program. Salah satunya adalah perumusan aturan dan regulasi HAM yang berbeda, dengan harapan dapat menjadi acuan bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Taufan menyatakan, setiap kebijakan yang diberikan harus direview dan direvisi sebagai legal audit untuk melihat apakah sudah mencapai level HAM atau belum. Hal ini tercermin dari isu diskriminasi, sebagaimana dijelaskan Taufan, masih terdapat pasal-pasal dalam peraturan daerah yang mencantumkan diskriminasi terhadap gender atau kelompok tertentu. Diakuinya, diskriminasi merupakan hal yang lumrah di Indonesia. Kebhinekaan merupakan modalitas bangsa Indonesia, namun diskriminasi seolah tumbuh sebagai fenomena glasial di masyarakat. Mekanisme Peradilan Ham Dalam Menangani Pelanggaran Ham Berat “Banyak orang tidak menyadari bahwa tindakan mereka mendiskriminasi ras, kasta, atau agama. “Kepekaan sosial kita terhadap rasisme dan ujaran kebencian tidak cukup untuk menuntut pendidikan dan kesadaran terus-menerus,” kata Taufan. Sebagai solusinya, Komnas HAM RI ingin membuat forum dialog dengan para korban, yang kemudian akan dipresentasikan kepada pengambil kebijakan. Duta Besar Uni Eropa Vincent Pickett dan Presiden Comnas Perempuan Andy Ynetriani adalah pembicara lainnya. Gustav Dahlin, Wakil Duta Besar Swedia, Mariana Amiruddin, Wakil Presiden Comnas Perempuan, Syahur Banu Contras Impatience Monitoring Unit dan Rapper, Comment Hands Off Movement Yacko. AAP/IW DEPOK – Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu tetap menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia terhadap para korban dan keluarganya hingga saat ini. Komisioner Komnas HAM RI Amiruddin mengatakan dalam seminar Pekan HAM Indonesia 2019 “Semua pihak yang berkepentingan harus menyatukan pandangan untuk mengatasi pelanggaran HAM yang biasa terjadi”, yang diselenggarakan oleh BEM UI, Fakultas Hukum UI, Depok 12/5/2019. Upaya Pemerintah Dalam Menyelesaikan Pelanggaran Hak Dan Pengingkaran Kewajiban Komnas HAM menangani 15 kasus pelanggaran HAM. Tiga dari kasus ini, Timor-Leste, Tanjung Prio dan Abepura, memiliki vonis sementara, tetapi tidak ada hukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM berat dalam kasus-kasus tersebut. Amiruddin mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu belum menunjukkan kemajuan akhir-akhir ini. “Dalam lima tahun terakhir, baru Komnas HAM yang bangkit menyelesaikan pelanggaran HAM,” jelasnya. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat memerlukan komitmen negara, dan akuntabilitas pemerintah yang berdasarkan hukum untuk mengatasi pelanggaran HAM berat dan melindungi hak korban. Sementara itu, Amiruddin menyambut baik rencana Menko Polhukam MD Mahfud untuk mengatasi pelanggaran HAM berat di masa lalu. “Saya menyambut baik usulan yang disampaikan oleh Menko. Menko akan mencoba melakukan upaya-upaya baru untuk menyelesaikan masalah HAM. Kita tunggu ide-idenya,” ujarnya. Pro Kontra Pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Papua Sebagai tanggapan, dia mengatakan dia perlu mengkonfirmasi dua hal tentang idenya. Hal utama adalah bahwa keadilan harus dilakukan untuk para korban dan keluarganya. Kedua, pastikan prosesnya terbuka sehingga semua pihak bisa melihat dan mengikuti prosesnya. Pembicara lain dalam seminar tersebut adalah Arteria Dahlan Panitia III DPR RI, Taufik Basari Panitia III DPR RI, Junedi Saibih Wakil Sekjen ILUNI UI, M. Jibril Avesina Ketua Panitia. Policy Center ILUNI UI dan Suryo Susilo Forum Silahturahmi Anak Bangsa serta peserta seminar yang dibangunkan oleh mahasiswa, cendikiawan dan aktivis HAM. AM/IW HAM Hak Asasi Manusia adalah hak asasi manusia. Hak ini diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai penyelarasan antara manusia dengan kehidupannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. HAM dipraktekkan secara internasional dan memiliki landasan hukum yang dipraktekkan di Indonesia. Baca Juga Landasan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam dunia hak asasi manusia terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di berbagai negara. Pelanggaran HAM yang terjadi dapat berupa pelanggaran HAM ringan, sedang, dan berat. Setiap pelanggaran dapat diselesaikan dan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang terkait dengan pelanggaran tersebut. Pelanggaran HAM tidak hanya terjadi di negara-negara. Pelanggaran HAM dapat terjadi di tingkat internasional, dimana pelanggaran HAM tersebut melibatkan kelompok atau negara lain sebagai pelaku kejahatan HAM. Pelanggaran yang dilakukan harus diselesaikan sesuai dengan kebijakan yang diluncurkan di tingkat internasional dan sistem pemerintahan dan politik negara yang bersangkutan. Secara umum, upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM di tingkat internasional adalah sebagai berikut 1. Negosiasi adalah cara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di tingkat internasional. Negosiasi terjadi ketika kelompok tertentu terlibat dalam pelanggaran HAM, misalnya ketika satu kelompok negara melakukan pelanggaran HAM terhadap kelompok lain. Kasus ini merupakan pelanggaran HAM di tingkat internasional. Penyelesaian pelanggaran HAM secara damai adalah dengan melindungi integritas organisasi internasional dan hubungan internasional antar negara tempat terjadinya pelanggaran HAM internasional. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM di tingkat internasional melalui negosiasi antara lain Negosiasi Seperti yang kita ketahui bersama, negosiasi adalah proses penyelesaian masalah antara pihak-pihak yang berkonflik. Proses negosiasi juga akan membantu penyelesaian pelanggaran HAM di tingkat internasional. Prosedurnya umumnya mirip dengan penyelesaian sengketa internasional. Kedua belah pihak telah bertemu untuk membahas pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung. Negara Dinilai Masih Sulit Penuhi Hak Hak Korban Pelanggaran Ham Berat Namun, sebagai kasus khusus, proses negosiasi untuk menyelesaikan isu-isu terkait pelanggaran HAM di tingkat internasional seringkali sulit. Pihak yang dirugikan akan bertanggung jawab atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain. Proses negosiasi dapat dilakukan dengan lancar dan efektif jika dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan saling menahan diri. Dalam proses negosiasi ini, diharapkan permasalahan terkait pelanggaran HAM di tangan negara lain dapat diselesaikan secara memadai untuk mengurangi risiko konflik yang berkepanjangan. Konsekuensi dari konflik sosial antara kedua belah pihak dapat memiliki beberapa konsekuensi. Keberlanjutan kehidupan masyarakat bagi kedua belah pihak. Mediasi dan mediasi adalah jalan selanjutnya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM internasional. Proses ini membutuhkan pihak ketiga sebagai mediator, sebagai sumber dan pertanggungjawaban penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi. Pihak ketiga dapat mengajukan petisi ke Majelis Umum PBB. Selain itu, Majelis Umum PBB memilih salah satu wakilnya untuk menengahi dan menyediakan sumber daya untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam menjalankan tugasnya, mediator berupaya menyediakan sumber daya yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Hal ini harus dilakukan dan dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM kedua belah pihak harus menggunakan cara-cara non-kekerasan agar tidak berlarut-larut masalah. Kedua belah pihak harus mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan pihak ketiga sehingga proses penyelesaian pelanggaran HAM merupakan keputusan terbaik bagi semua pihak. Dalam menjalankan tugasnya harus menjaga sikap tidak memihak agar pendapat atau masukan pihak ketiga tidak bias memihak salah satu pihak. Bahkan, upaya penyelesaian pelanggaran HAM di tingkat internasional seringkali menggunakan pihak ketiga, karena cara tersebut dianggap efektif dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi. Kesepakatan kompromi merupakan suatu produk yang disusun dalam bentuk kesepakatan dalam upaya penyelesaian suatu masalah. Suatu perjanjian bersifat hitam putih, jadi merupakan hasil perjanjian yang mengikat secara hukum. Kesepakatan dapat disusun sebagai bentuk kesepakatan atas pelanggaran HAM internasional, dan produk kesepakatan tersebut diberikan sebagai solusi damai. Saat ini, dua pihak yang bekerja untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dapat mencapai kesepakatan setelah negosiasi atau mediasi. Kesepakatan tersebut diupayakan sebagai penyelesaian masalah secara damai dengan menonjolkan poin-poin tertentu sebagai bentuk kesepakatan. Penandatanganan kesepakatan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan Dewan Keamanan PBB sebagai saksi dan pemantau kesepakatan kedua belah pihak. Itu juga dilakukan dalam proses peradilan. Dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, persidangan dilakukan menurut sistem hukum internasional. Kelompok yang dinyatakan bersalah di persidangan dapat didenda sesuai dengan hukum yang berlaku. Demikian pula sanksi yang dijatuhkan bermacam-macam, ada yang untuk pelanggaran HAM dan ada pula sanksi yang dijatuhkan secara sepihak oleh negara-negara yang menjadi korban sanksi tersebut. Pelanggaran Ham hak Asasi Manusia
HAMdalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dan memberikan solusi atas permasalahan tersebut. Penelitian ini menggunakan data-data primer berupa HAM untuk menunjukan bahwa Indonesia memberi perhatian pada upaya internasional dan nasional bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Namun, karena Komnas HAM dilahirkan, dan dalam lima
Aksi Kamisan di depan Istana Negara, untuk mendesak Presiden Jokowi serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Foto ANTARA KBR, Jakarta- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan YPKP 1965, terus mempertanyakan komitmen pemerintah menyelesaikan kasus tragedi 1965. Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung menilai, selama tujuh tahun pemerintahan Jokowi upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu justru melemah dan cenderung jalan di tempat. "Jadi pertanyaan saya ada ketakutan apa? ada kekuatan politik apa? Sehingga Jokowi tidak pernah membuka peristiwa 65 secara direct. Saya dengan ini sangat kecewa karena janji Jokowi yang ingin menyelesaikan kasus pelanggaran berat secara bermartabat dan berkeadilan ternyata itu hanya janji kosong," kata Bedjo kepada KBR melalui sambungan telepon, Kamis 21/10/2021. Pengadilan HAM Ad Hoc Bedjo mengungkapkan, pada 2019 para korban sempat mendatangi Kejaksaan Agung untuk menyerahkan daftar dugaan kuburan masal. Itu dilakukan guna memperkuat bukti yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia UU Pengadilan HAM, pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usulan DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Namun, dalam 2 tahun terakhir Kejaksaan Agung tidak pernah berkomunikasi dengan para korban tentang perkembangan kasus. Bahkan kata dia, Jokowi sebagai kepala negara, hingga kini tidak pernah secara terbuka bertemu dan berbicara kepada para korban. "Kemudian dengan Menko Polhukam saya sudah kirim surat untuk bisa bertemu berdialog untuk diselesaikan, juga belum ada. Kami korban 65 siap berdialog apa maunya korban," kata Bedjo. Bedjo berharap di sisa masa jabatan Presiden Jokowi kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa 65/66 dapat diselesaikan. Menurutnya, pemerintah dan kejaksaan cukup menjalankan rekomendasi Komnas HAM untuk membentuk pengadilan ad hoc. "Negara mau tidak mau harus menyelesaikan secara yudisial supaya para korban ada kepastian hukum dan mendapat hak-haknya," katanya. Kejelasan Sikap Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM mendorong pemerintah segera menentukan sikap dan kebijakan dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab menurut Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, selama ini penyelesaian kasus-kasus tersebut kerap berakhir tarik ulur antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Beka menyebut, rencana pemerintah yang akan membentuk tim khusus penyelesaian kasus HAM berat masa lalu lewat jalur non-yudisial juga belum sepenuhnya rampung. "Artinya secara konsep sudah jadi dan nama-nama yang akan mengisi gitu, katanya juga sudah mulai di-list begitu lah. Kami masih menunggu apakah memang ini dalam waktu dekat ini dikeluarkan menjadi kebijakan atau masih ada tarik ulur lagi," kata Beka kepada KBR melalui sambungan telepon, Kamis 21/10/2021. Beka Ulung Hapsara menambahkan, Komnas HAM tidak masuk ke dalam struktural tim tersebut. Kata dia, Komnas HAM hanya memberikan masukan kepada pemerintah jika dibutuhkan. Sebab tugas Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan kasus-kasus masa lalu sudah selesai, sesuai amanat undang-undang. "Secara kelembagaan dalam pengertian, tidak masuk ke tim. Komnas HAM kan secara undang-undang sudah selesai. Kami sudah melakukan penyelidikan, laporannya juga sudah final. Sekarang diserahkan kepada pemerintah, mau penyelesaiannya yudisial atau non-yudisial, ya kami serahkan kepada pemerintah," jelasnya. Tarik Ulur Penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat hingga kini belum juga menemui titik terang. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengaku, terus terjadi tarik ulur antara lembaganya dan Kejaksaan Agung, soal upaya penyelesaian belasan pelanggaran HAM berat itu. Kata dia, belum ada langkah konkret dari Kejaksaan Agung dalam menindaklanjuti kesepakatan penyelesaian kasus-kasus tersebut. Padahal kata dia, Komnas HAM sudah beberapa kali bertemu perwakilan pemerintah, salah satunya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Menko Polhukam Mahfud MD. Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat 12 peristiwa pelanggaran HAM berat itu yakni penembakan misterius 1982 hingga 1985, peristiwa Talangsari Lampung 1989, peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan 2 pada 1998 hingga 1999. Kemudian kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa 1997 hingga 1998, peristiwa 1965 hingga 1966, kasus pembunuhan dukun santet 1999, peristiwa Wasior Wamena 2002 dan 2003. Lalu, peristiwa Paniai 2004, dan peristiwa di Aceh seperti Simpang KAA pada 1998, peristiwa Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer DOM Aceh, dan Jambo Keupok pada 2003. Klaim Pemerintah Pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin mengklaim tak pernah berhenti mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM. Dalam laporan capaian kinerja 2 tahun Jokowi-Maruf yang dirilis Kantor Staf Presiden KSP, pemerintah mengklaim mengupayakan penyelesaian kasus secara bermartabat. Pemerintah ingin menuntaskan pelanggaran HAM tanpa mengabaikan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial, serta budaya. KBR sudah mencoba menghubungi Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono. Namun, keduanya belum merespons permintaan wawancara dari KBR. Baca juga Terus Menagih JanjiPenyintas Sudah Laporkan Temuan 138 Titik Kuburan Massal Korban 1965 ke Komnas HAM Editor Sindu
EdwinPartogi Pasaribu Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada masa awal jabatannya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. memberi perhatian terhadap upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lalu sebagai bagian dari tugas besar yang dititipkan Presiden Joko Widodo HAM Hak Asasi Manusia merupakan hak yang paling fundamental yang dimiliki oleh manusia. Hak ini diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia sebagai bentuk penyelarasan diri manusia terhadap kehidupannya. HAM berlaku secara universal dan mempunyai dasar hukum seperti yang berlaku di Indonesia. Baca juga Dasar Hukum HAM Selama perjalanan penegakan HAM di dunia, terdapat jenis-jenis pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai negara. Pelanggaran HAM yang terjadi dapat berupa pelanggaran HAM ringan, sedang, dan pelanggaran tentunya dapat diselesaikan dan dikenai sanksi bagi pelanggarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pelanggaran HAM tidak hanya terjadi di dalam negara saja. Pelanggaran HAM juga dapat terjadi dengan berskala internasional dimana pelanggaran HAM tersebut melibatkan kelompok-kelompok atau negara lain sebagai pelaku kejahatan HAM. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tentunya diselesaikan sesuai dengan kebijakan yang berlaku secara universal di dalam dunia internasional dan disesuaikakan dengan bentuk-bentuk negara dan sistem politik di berbagai negara yang bersangkutan. Adapun upaya-upaya penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berskala internasional secara umum diantaranya1. PerundinganJalan perundingan adalah jalan yang ditempuh dalam penyelesaian pelenggaran HAM yang mempunyai skala internasional. Perundingan dilakukan apabila melibatkan kelompok-kelompok tertentu dalam pelanggaran HAM yang terjadi seperti suatu kelompok negara melakukan pelanggaran HAM terhadap kelompok negara perundingan merupakan salah satu jalan damai yang ditempuh dalam upaya sengketa internasional yang dalam hal ini adalah pelanggaran HAM dengan skala internasional. Jalan damai dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dilakukan untuk menjaga keutuhan hubungan internasional dan organisasi intenasional yang terjalin diantara negara-negara tempat terjadinya pelanggaran HAM berskala internasional. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM dalam skala internasional yang dapat dilakukan melalui proses perundingan diantaranyaNegosiasiSeperti yang sudah kita ketahui bersama, negosiasi merupakan suatu proses untuk menyelesaikan suatu masalah yang terjadi diantara pihak yang sedang bermasalah. Proses negosiasi juga dapat dilakukan sebagai penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi dalam skala internasional. Prosedurnyapun hampir sama dengan penyelesaian sengketa internasional secara umum. Kedua belah pihak saling bertemu untuk membicarakan penyelesaian tentang pelanggaran HAM yang sedang karena ini adalah kasus khusus, proses negosisasi untuk menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan pelanggaran HAM dengan skala internasional biasanya berlangsung dengan cukup alot. Pihak yang menjadi korban akan menuntut pertanggung jawaban yang setimpal dari pelanggaran yang sudah dilakukan oleh pihak lain. Proses negosiasi dapat berlangsung dengan baik dan lancar apabila dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan saling menahan diri. Harapannya, melalui proses negosiasi ini, permasalahan mengenai pelanggaran HAM dalam skala internasional yang sudah melibatkan negara lain dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan kesepakatan yang sudah terjadi agar mengurangi kemungkinan konflik secara berkelanjutan yang dapat merambah ke dalam dampak akibat konflik sosial diantara kedua pihak yang dapat menimbulkan dampak tertentu bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat di kedua belah merupakan cara lanjutan yang ditempuh apabila dalam melakukan upaya negosiasi penyelesaian pelanggaran HAM berskala internasional tidak menemukan titik terang. Proses ini membutuhkan pihak ketiga sebagai penengah yang berperan sebagai pemberi masukan dan pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi. Pihak ketiga dapat diajukan melalui permohonan yang ditujukan kepada fungsi majelis Umum PBB. Selanjutnya, Majelis Umum PBB akan memilih dan mengutus salah satu delegasinya untuk ditugaskan sebagai penengah dan pemberi masukan ke dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi. Dalam melaksanakan tugasnya, pihak penengah berupaya untuk memberikan masukan-masukan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Hal ini perlu dilakukan agar kedua belah pihak yang sedang dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi tidak memperpanjang masalahnya hingga menggunakan cara-cara kekerasan. Kedua belah pihak juga harus mendengarkan dan mempertimbangkan masukan yang diberikan oleh pihak ketiga agar proses penyelesaian masalah pelanggaran HAM dapat menjadi keputusan yang terbaik bagi semua pihak. Dalam menjalankan fungsinya, pihak ketiga harus menjaga kenetralannya agar saran atau masukan yang diberikan tidak condong kepada salah satu pihak. Jika dilihat pada konteks sesungguhnya, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berskala internasional lebih sering menggunakan pihak ketiga karena cara ini dianggap efektif dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang PerjanjianPerjanjian merupakan sebuah produk yang dihasilkan sebagai bentuk kesepakatan dalam upaya melakukan penyelesaian suatu permasalahan tertentu. Perjanjian merupakan suatu produk kesepakatan yang mempunyai kekuatan hukum karena merupakan hitam di atas putih. Perjanjian dapat dihasilkan sebagai bentuk penyelesaian pelanggaran HAM berskala perjanjian dikeluarkan sebagai bentuk penyelesaian secara damai. Kedua belah pihak yang sedang melakukan penyelesaian pelanggaran HAM dapat membuat perjanjian setelah proses negosiasi maupun mediasi dilakukan. Perjanjian diupayakan sebagai langkah damai untuk menyelesaikan masalah dengan menekankan poin-poin tertentu sebagai bentuk kesepakatan. Penandatanganan perjanjian dilakukan atas sepengetahuan PBB dengan melibatkan Dewan Kemanan PBB sebagai saksi maupun pengawas jalannya perjanjian yang disepakati kedua belah cara yang disebutkan dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berskala internasional tentunya juga dilakukan melalui proses peradilan. Proses peradilan mengenai pelanggaran HAM dilakukan sesuai dengan sistem hukum internasional. Melalui proses peradilan, maka kelompok yang dinyatakan bersalah, dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Sanksi yang ditetapkanpun beragam, ada yang dilakukan secara sepihak oleh negara yang menjadi korban pelanggaran HAM maupun sanksi yang diberikan dari pengadilan internasional. Adapun sanksi tersebut antara lainPemberlakukan travel atau pemberhentian investasi dengan modal atau pemutusan bantuan dalam berbagai duta besar disertai pemutusan hubungan produk yang diekspor dari negara yang dinyatakan atau pemberhentian kerja sama internasional di berbagai KekerasanKekerasan merupakan cara yang paling terakhir dalam upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berskala internasional. Cara kekerasan merupakan cara yang paling dihindari karena dapat memperparah pelanggaran HAM itu sendiri. Perang merupakan cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan HAM berskala internasional. Perang dilakukan apabila pelanggaran HAM yang terjadi merupakan pelanggaran HAM yang tergolong berat dan tidak dapat diselesaikan melalui perundingan maupun perjanjian. Jika perang dilakukan, maka kemungkinan pelanggaran HAM akan meningkat seperti yang pernah terjadi diantara blok barat dan blok timur beberapa waktu lalu. Sedapat mungkin, perang sebagai upaya terakhir dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berskala interasional dihindari karena perang bukan memperbaiki keadaan tapi memperburuk keadaan yang sudah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk penyelesaian pelanggaran HAM berskala internasional. Semua upaya yang dijabarkan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun sedapat mungkin, upaya penyelesaian berupa perang dihindari karena bukan merupakan jalan yang terbaik dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berskala internasional yang terjadi. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.[accordion] [toggle title=”Artikel Terkait” state=”closed”]Tugas dan Fungsi Komnas HAMContoh Konflik Sosial dalam MasyarakatPelanggaran Hak Warga NegaraUpaya Menjaga Keutuhan NKRIPenyebab Korupsi dan Cara MengatasinyaFungsi Lembaga Swadaya MasyarakatCara Mencegah Radikalisme Dan TerorismeCara Merawat Kemajemukan Bangsa IndonesiaPenyebab Terjadinya Tindakan Penyalahgunaan KewenanganPeran Lembaga Pengendalian Sosial di MasyarakatAkibat BullyingPengertian AbolisiFaktor Penyebab Konflik SosialPengertian AmnestiFungsi Perwakilan DiplomatikPengertian ChauvinismePeran Konstitusi dalam Negara DemokrasiPeranan Lembaga PeradilanKedudukan Warga Negara dalam NegaraSistem Pemerintahan Orde Baru [/toggle] [toggle title=”Artikel Lainnya”]Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Pelestarian LingkunganDampak Akibat Konflik SosialPerbedaan Etika dan EtiketMakna Persamaan Kedudukan Warga NegaraPeran dan Fungsi Bank IndonesiaHubungan Demokrasi dan HAM di IndonesiaPenyebab lunturnya Bhinneka Tunggal IkaCara Menjaga Nama Baik SekolahPenyebab Tawuran dan Cara Mengatasinya Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUDSistem Politik Komunis Penyimpangan Terhadap KonstitusiHubungan Dasar Negara dengan Konstitusi Pancasila Sebagai Ideologi TerbukaKewajiban Warga NegaraPengertian RemisiCara Menanamkan Kesadaran Hukum Pada Warga MasyarakatPancasila dalam Kehidupan Sehari-hariPenerapan Pancasila dalam Kehidupan[/toggle] [/accordion]
Dalamkonteks penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan memutus siklus kekerasan di Papua, setiap pilar perlu mengevaluasi setiap perannya, sekaligus merumuskan bersama langkah strategis untuk

Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM Hak Asasi Manusia adalah pokok pembahasan materi pelajaran pendidikan kewarganegaran PPKN yang akan dijelaskan dengan lengkap dan detail pada materi belajar berikut ini. Adapun sub pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia HAM didalam belajar pendidikan kewarganegaraan yang akan diuraikan yakni sebagai berikut 1. Peradilan dan sanksi atas pelanggaran HAM di Indonesia. 2. Pembentukan Pengadilan HAM. 3. Tugas pengadilan HAM. 4. Wewenang pengadilan HAM. 5. Penanganan kasus pelanggaran HAM di pengadilan HAM. 6. Proses penangkapan dan Penahanan Pelanggaran HAM. 7. Proses penyelidikan pelanggaran HAM berat. Peradilan dan sanksi atas pelanggaran HAM di Indonesia Kasus pelanggaran hak asasi manusia HAM akan senantiasa terjadi jika tidak secepatnya ditangani. Negara yang tidak mau menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi dinegaranya akan disebut sebagai UNWILLINGNESS STATE atau negara yang tidak mempunyai kemauan menegakkan HAM. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negara tersebut akan disidangkan oleh Mahkamah Internasional. Hal ini tentu saja menggambarkan bahwa kedaulatan hukum negara itu lemah dan wibawanya jatuh di dalam pergaulan bangsa-bangsa yang beradab. Baca juga Kasus-Kasus Pelanggaran Ham Dalam Perspektif Pancasila Konsekuensi jika sebuah negara tidak melakukan upaya pemajuan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia HAM diantaranya sebagai berikut 1. Memperbesar pengangguran. 2. Memperlemah daya beli masyarakat. 3. Memperbesar jumlah anggota masyarakat yang miskin. 4. Memperkecil pendapatan nasional. 5. Merosotnya tingkat kehidupan masyarakat. 6. Kesulitan memperoleh bantuan dari negara asing. 7. Kesulitan dalam mencari mitra. Pembentukan pengadilan HAM Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan UU RI NO 26 Tahun 2000. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat yang diharapkan dapat melindungi HAM baik perseorangan maupun kelompok masyarakat. Tugas dan wewenang pengadilan HAM Tugas pengadilan HAM adalah memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat. Sedangkan wewenang pengadilan HAM adalah memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang dilakukan oleh warga negara Indonesia WNI yang terjadi diluar batas teritorial Indonesia. Penanganan kasus pelanggaran HAM di pengadilan HAM Sebelum berlakunya UU RI NO 26 Tahun 2000 tentang PERADILAN HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia diperiksa dan diselesaikan oleh Pengadilan HAM AD HOC yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden kepres dan berada dilingkungan Peradilan. Setelah berlakunya UU RI NO 26 Tahun 2000 Peradilan HAM dilaksanakan oleh peradilan HAM. Proses peradilan HAM dilaksanakan berdasarkan pada ketentuan hukum acara pidana. Proses penangkapan dan penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung disertai surat perintah penangkapan kecuali tertangkap tangan. Proses penangkapan dan penahanan pelanggaran HAM Proses penyidikan dan penangkapan dilakukan oleh jaksa agung dengan disertai surat perintah dan alasan penangkapan kecuali tertangkap tangan. 1. Penahanan untuk pemeriksaan dalam sidang di pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat di perpanjang paling lama 30 hari oleh pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. 2. Penahanan di Pengadilan Tinggi dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. 3. Penahanan di Mahkamah Agung paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Baca juga Hakikat Perlindungan Serta Penegakan Hukum Proses penyelidikan pelanggaran HAM berat Adapun penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh KOMNAS HAM. Dalam melakukan penyelidikan komnas ham dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Hasil penyelidikan Komnas HAM yang berupa laporan pelanggaran HAM, diserahkan berkasnya kepada jaksa agung yang bertugas sebagai penyidik. Jaksa agung wajib menindak lanjuti laporan dari Komnas HAM tersebut. Demikian pembahasan mengenai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM Hak Asasi Manusia.

Agungdalam penyelesaian Pelanggaran HAM berat dan upaya penegakan hukum kasus pelanggaran HAM berat di masa mendatang. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder dan teknik analisis data secara kualitatif. Implementasi kewenangan Jaksa Agung belum

BerandaKlinikHak Asasi ManusiaPenyelesaian Pelangg...Hak Asasi ManusiaPenyelesaian Pelangg...Hak Asasi ManusiaSenin, 8 Februari 2021Senin, 8 Februari 2021Bacaan 6 MenitBagaimana mekanisme alur penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia melalui jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR?Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi “KKR” adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia “HAM” yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi, yang dasar pembentukannya adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi “UU 27/2004”. Namun, UU 27/2004 kini telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Apakah ini berarti penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi sudah tidak dimungkinkan lagi? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang selanjutnya disebut Komisi, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan yang dimaksud dengan rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.[1]KKR ini dibentuk untuk menegakkan kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu sebelum berlakunya UU 26/2000 di luar pengadilan dengan menempuh langkah-langkah berikut; pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain guna menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.[2]Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat “DPR”.[3]Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui KKR yang kami sarikan dari wewenang KKR serta tugas dan wewenang subkomisi penyelidikan dan klarifikasi dalam KKR adalah sebagai berikut;[4]Penerimaan pengaduan, pengumpulan informasi dan bukti-bukti mengenai pelanggaran HAM yang berat dari korban atau pihak lain;Pencarian fakta dan bukti-bukti pelanggaran HAM yang berat;Mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer serta badan swasta, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri;Pemanggilan terhadap setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;Klarifikasi seseorang sebagai pelaku atau sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat;Penentuan kategori dan jenis pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2000;Pemutusan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau itu diatur pula mengenai penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti sebagai berikut[5]Dalam hal KKR telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran HAM yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, KKR wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan;[6]Keputusan tersebut dapat berupa mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi, atau memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti;[7]Rekomendasi permohonan amnesti, dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal keputusan sidang KKR, disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan;[8]Presiden kemudian meminta pertimbangan amnesti kepada DPR dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima;[9]DPR wajib memberikan pertimbangan amnesti dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal permintaan pertimbangan Presiden diterima;[10]Keputusan Presiden mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti wajib diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pertimbangan DPR diterima;[11]Keputusan Presiden kemudian disampaikan kembali kepada KKR dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal diputuskan,[12] dan KKR menyampaikan keputusan Presiden tersebut kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan tersebut diterima oleh KKR.[13]Sebagai catatan, jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan serta tidak bersedia menyesali, maka pelaku kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.[14] Penjelasan lebih lanjut mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc dapat Anda simak dalam Mengenal Pengadilan HAM Ad yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan mengenai KKR ini adalah bahwa UU 27/2004 yang menjadi dasar hukum pembentukan KKR telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menyatakan sebagai berikut hal. 130-131Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum rechtsonzekerheid. Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum undang-undang yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara demikian, pada dasarnya KKR sudah tidak mempunyai dasar hukum lagi, namun sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas, hal ini tidak menutup adanya upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi dengan cara jawaban dari kami, semoga bermanfaat.[1] Pasal 1 angka 2 UU 27/2004[2] Pasal 3 huruf a jo. Penjelasan Umum UU 27/004[3] Pasal 1 angka 9 UU 27/2004[4] Pasal 18 ayat 1 jo. Pasal 7 ayat 1 UU 27/2004Tags

SempatTerkendala Biaya Di Jakarta Hingga Kembali Ke Aceh,TRH Bantu Penderita

› Riset›Penyelesaian Kasus Pelanggaran... Diperlukan langkah berani dari pemerintah untuk menguatkan kepercayaan publik pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM termasuk tragedi Mei 1998. OlehYohanes Mega Hendarto 5 menit baca KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga menunggu datangnya armada Bus Transjakarta di Halte12 Mei Reformasi, Grogol, Jakarta, Minggu 6/5/2018. Penamaan halte yang diresmikan pada 2013 ini untuk mengenang empat mahasiswa yang gugur akibat terjangan peluru saat berunjukrasa menuntut reformasi di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta pada 12 Mei Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I-II, dan penghilangan orang secara paksa, adalah ibarat deretan “luka batin” yang menggores perjalanan sejarah bangsa. Meski semakin sayup dalam ingatan publik, tuntutan pemenuhan rasa keadilan masih menjadi hutang segenap pemangku kepentingan di negeri 23 tahun, publik tidak yakin pemerintah akan mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah mengubah wajah politik nasional tersebut. Lebih dari separuh responden menyatakan hal itu. Perkembangan sosial politik membuat makin sulit mewujudkan rasa keadilan yang selaras dan mencukupi bagi semua komponen yang terlibat peristiwa tersebut. Tak hanya berbenturan dengan kepentingan politik kontemporer, pemenuhan rasa keadilan bagi satu pihak bisa menjadi rasa ketidakadilan bagi kelompok atau pihak lain yang merasa dipersalahkan. Ada kekhawatiran, kondisi psikologis sosial masyarakat belum sepenuhnya siap untuk menilai dan mengambil sikap sebuah isu sensitif terkait SARA secara ambil contoh dari kasus seputar kerusuhan Mei 1998. Dari dua belas kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di tanah air, ada empat peristiwa yang terjadi menjelang reformasi Indonesia. Selain kerusuhan massa, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa, peristiwa pemerkosaan warga etnis Tionghoa seringkali luput dari pemberitaan terjadi karena tragedi perkosaan saat huru hara cenderung tabu untuk diangkat kembali ke masyarakat, terutama oleh media massa. Padahal, hingga kini pun tragedi tersebut masih meninggalkan trauma dan luka yang sangat dalam bagi para korban dan keluarga SIHOMBING Puluhan ribu massa yang terdiri dari mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jakarta, aktivis, tokoh masyarakat, artis, dosen dan berbagai kelompok profesi lainnya, Rabu 13/5/1998 siang, berbaur menjadi satu saat pemakaman dua jenazah mahasiswa Universitas Trisakti ”Pejuang Reformasi”, Elang Mulya Lesmana dan Heri Hartanto di di Tempat Pemakaman Umum TPU Tanah Kusir Jakarta tentang pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa, kerapkali berubah menjadi polemik yang menggeser inti kasus. Padahal berdasarkan laporan temuan TGPF peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, tindakan perkosaan massal terjadi saat kerusuhan 13-15 Mei seksual tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di Medan, Solo, Surabaya, Medan, dan Palembang. Setidaknya, ada 85 korban sejauh ini yang dapat diverifikasi sebagai korban pemerkosaan, pemerkosaan dengan penganiayaan, serta penyerangan dan pelecehan perjalanan selama ini, para penyintas kekerasan seksual Mei 1998 lebih banyak memilih bungkam karena trauma dan tidak ingin diingatkan kembali pada peristiwa memilukan itu. Menyadari peliknya permasalahan ini, pada Mei 2020 lalu Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK menggelar “Kampanye Recalling Memory Mei ’98”. Tujuannya, refleksi agar tragedi serupa tidak jajak pendapat, perhatian terhadap pemberitaan perkosaan warga etnis Tionghoa diikuti oleh 46,1 persen responden. Artinya, publik memerhatikan bagaimana media memberitakan terjadinya peristiwa itu sekalipun ada sejumlah pihak yang hak Tiga perempat responden sepakat bahwa peristiwa kekerasan saat kerusuhan Mei 1998 adalah pelanggaran HAM berat. Namun, bagian terbesar responden 42,7 persen menilai bahwa pemerintah belum tuntas menyelesaikan kasus tersebut. Sebesar 37,7 persen responden memandang bahwa selama ini hanya sebagian saja yang penyelesaian berupa pembentukan tim gabungan pencari fakta TGPF dan pengadilan HAM yang sudah dijalankan, tampaknya hanya memuaskan sebagian kecil responden saja 4,7 persen.Meski begitu, respon positif publik terhadap upaya penyelesaian hukum oleh pemerintah kini meningkat menjadi 37,7 persen jika dibandingkan dengan hasil jajak dua tahun lalu Kompas, 13 Mei 2019. Kala itu, hanya 19,6 persen responden saja yang menilai bahwa pemerintah sudah memenuhi pengusutan kasus Mei Presiden Jokowi menemui peserta “aksi kamisan” di Istana Negara pada 31 Mei 2018 juga menyiratkan adanya inisiatif dari pemerintah. Presiden Jokowi kemudian membentuk Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM Berat pada 2019 dan meminta Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada Desember 2020, Jaksa Agung membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM pada Maret 2021 lalu pemerintah membahas pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat UKP-PPHB. Dikhawatirkan, langkah ini menjadi upaya pemerintah untuk penyelesaian melalui mekanisme non-yudisial dan menghindari proses pengadilan HAM terhadap para SIHOMBING Aparat keamanan bersiaga di kawasan Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu 13/5/1998.Merujuk pada UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, para korban dan keluarga korban berhak mendapat perlindungan fisik dan mental, memperoleh kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi. Pemenuhan hak tersebut merupakan lanjutan dari PP Nomor 3 Tahun 2002. Sedangkan dalam PP Nomor 2 Tahun 2002, para saksi pun turut berhak mendapat perlindungan dan perahasiaan dari jajak pendapat Kompas, persoalan pemenuhan hak korban ini juga menjadi poin penting yang disorot. Lebih dari setengah responden justru menyatakan bahwa aspek keadilan menjadi pemenuhan utama hak korban dan keluarga korban yang seharusnya diupayakan pemerintah. Aspek keadilan ini utamanya adalah penuntasan melalui dengan jalur hukum atau pengadilan pemenuhan dari aspek keadilan, para responden turut memperhatikan hak korban dengan menyoroti hak-hak lain yang seharusnya diterima para korban dan keluarga korban. Sebanyak 16,8 persen responden berpendapat bahwa pemenuhan hak material seperti ganti rugi atau santunan dari negara perlu diberikan kepada para korban 13 persen responden melihat bahwa perlu juga memenuhi dari segi sosial, seperti pemerintah mengakui adanya peristiwa perkosaan massal kepada etnis Tionghoa saat huru hara yakinMeskipun pemerintah cenderung mengambil “langkah memutar” untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, keinginan publik untuk penuntasan melalui jalur yudisial tetaplah kokoh. Hal ini terlihat dari separuh lebih responden 56,3 persen, menyatakan bahwa pengadilan yudisial seharusnya menjadi prioritas utama para responden mencoba bersikap realistis terhadap langkah prioritas pemerintah, yakni pemberian santunan dan bantuan bagi keluarga korban 15,2 persen, memberikan pendampingan psikologis kepada korban 15,1 persen, dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban 10,4 persen.Sayangnya, lebih banyak publik yang tidak yakin bahwa pemerintah mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat Mei 1998 secara tuntas. Alasannya, tragedi Mei 1998 sudah terlalu lama, sebagian tersangka sudah meninggal dan sudah terjadinya sebagian peralihan generasi. Dalam jajak ini pun separuh proporsi responden tidak mengikuti pemberitaan kerusuhan Mei diperlukan langkah berani dari pemerintah untuk menguatkan kepercayaan publik pada penyelesaian kasus Mei 1998. Seiring dengan itu, pembentukan UKP-PPHB, pemenuhan hak-hak korban, serta langkah-langkah selanjutnya perlu terus dikawal. LITBANG KOMPASBaca juga Maaf, Negara Belum Hadir Sepenuhnya

Secaraumum, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM dilakukan dengan 3 jenis cara, yaitu: 1. Perundingan Jalan perundingan adalah jalan yang ditempuh dalam penyelesaian pelenggaran HAM yang mempunyai skala internasional.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Hak Asasi Manusia HAM didefinisikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa "rights inherent to all human beings, whatever our nationality, place of residence, sex, national or ethnic origin, colour, religion, language, or any other status. We are all equally entitled to our human rights without discrimination." Hak asasi manusia adalah serangkaian hak istimewa yang melekat pada realitas dan keberadaan manusia sebagai makhluk dari satu Tuhan dan merupakan karunia-Nya yang harus dihormati, dihargai, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap individu untuk kehormatan dan perlindungan martabat dan martabat manusia. Definisi ini diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. NKRI merupakan negara yang menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia HAM, negara yang memiliki hukum yang adil, negara berbudaya yang beradab, dan masyarakat yang yang bermoral Balqis & Najicha,2022. Gaya hidup yang beradab dan bermoral juga dipromosikan di antara orang Indonesia. Kehidupan sehari-hari menempatkan penekanan yang kuat pada prinsip-prinsip moral termasuk saling menghormati, toleransi, gotong royong, dan saling peduli. Meskipun tidak semua anggota masyarakat atau kelompok sosial mematuhi cita-cita ini secara konsisten, masyarakat Indonesia terus memprioritaskan moralitas. Hak asasi manusia melekat pada diri manusia itu, maka seburuk apapun perilaku dan perlakuan yang dialami seseorang ia akan tetap menjadi manusia dan hak-hak tersebut akan selalu melekat pada dirinya Nugroho, A. R., & Fatma Ulfatun Najicha,2023. Ada berbagai macam jenis HAM salah satunya HAM dalam berpendapat, baru-baru ini banyak sekali masyarakat yang menyuarakan pendapat mereka dalam berbagai cara contohnya dengan melalui platform media sosial atau media elektronik. Hal ini memungkinkan individu untuk berpartisipasi dalam dialog publik, membagikan pandangan mereka, dan mempengaruhi opini publik. Hak asasi manusia dalam berpendapat mencakup kebebasan berekspresi, kebebasan berbicara, dan kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi. Dalam konteks digital, platform-media sosial telah menjadi sarana penting bagi masyarakat untuk melibatkan diri dalam diskusi publik dan menyuarakan pendapat mereka. Terlebih lagi kita hidup dizaman yang sudah maju seperti mudahnya mendapatkan informasi dan komunikasi Sulistyo & Najicha,2022. Kebebasan berekspresi tentu saja sangat dibolehkan tetapi kita tetap harus berperilaku santun dan tidak menyinggung pihak yang lain Hilmy & Najicha,2022. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun ada kebebasan berekspresi, ada juga batasan-batasan tertentu yang diterapkan dalam konteks hukum. Misalnya, penghinaan, penghasutan kekerasan, atau penyebaran konten yang melanggar hukum seperti kebencian atau pornografi anak dapat menjadi pelanggaran dan dapat itu, perlu diingat bahwa kebebasan berpendapat juga harus diiringi dengan tanggung jawab. Menyuarakan pendapat secara bertanggung jawab berarti menghormati hak-hak dan martabat orang lain, menghindari menyebarkan informasi palsu atau fitnah, serta menghormati batasan etika dan hukum yang berlaku. Dalam hal ini kebebasan berpendapat tercantum dalam sila ke-4 yaitu Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengandung nilai setiap warga Indonesia sebagai kelompok masyarakat memiliki hak, kewajiban, dan kedudukan yang sama dalam pemerintahan Wibowo & Najicha,2022. Ini mengakui bahwa setiap individu memiliki hak untuk menyuarakan pendapat, memperoleh informasi, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi masyarakat dan negara. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam perdebatan dan perumusan kebijakan melalui musyawarah atau setiap negara memiliki tantangan dan permasalahan dalam menjunjung tinggi HAM, menerapkan hukum yang adil, dan membangun masyarakat yang berbudaya dan bermoral. Peningkatan terus menerus dalam semua aspek ini adalah upaya yang harus terus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Terkadang terdapat kasus di mana instansi pemerintahan dikritik oleh masyarakat, namun tidak menerima kritik tersebut dan bahkan menggunakan intimidasi terhadap orang yang mengkritik. Transparansi dari pemerintah mengenai suatu kebijakan dapat kita respons dengan menyampaikan aspirasi atau kritik yang membangun Latifah & Najicha,2022. Yang membuat masyarakat takut untuk mengkritik kinerja pemerintah, padahal kritik untuk suatu negara itu penting untuk menjadi bahan evaluasi ke depan nya tokoh masyarakat atau mahasiswa yang meng-kritik dan mendapat intimidasi dari pemerintah. Perlunya perlindungan HAM dalam bependapat sangat membantu masyarakat jika di intimidasi pemerintah. Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dipertegas dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat tertuang dalam Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 25. Menurut Pasal 23 Ayat 2, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan, melalui media cetak maupun elektronik, dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan itu, Pasal 25 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketika datang pada kegiatan atau kebijakan pemerintah yang tidak adil, tidak jujur, atau melanggar hak asasi manusia, melindungi hak-hak manusia termasuk membantu warga dalam mengungkapkan kekhawatiran mereka. Perlindungan hak asasi manusia dapat menawarkan lembaga independen dan kerangka hukum untuk melindungi hak individu, menegakkan akuntabilitas, dan mengejar keadilan dalam kasus-kasus di mana pemerintah mengintimidasi kritikus atau aktivis. Ini memberi jaminan kepada populasi bahwa ada mekanisme yang adil dan terbuka untuk melindungi mereka dari penyalahgunaan otoritas pemerintah. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

KasusPelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia ( Beberapa waktu terakhir ) Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pengertian HAM perlu dipahami oleh setiap orang. Terutama di indonesia yang merupakan negara yang berdasarkan hukum. Hak asasi manusia di indonesia Telah diatur secara tegas pada konstitusi negara dan selanjutnya diperkuat lagi oleh UU No. 39 Tahun 1999. Meskipun di indonesia berdasarkan negara hukum dan HAM di indonesia sudah diatur oleh undang-undang namun masih banyak terjadi kasus pelanggaran ham yang ada di tahunan international day of the right to the truth cobcerning gross human rights violations and for the dignity of victims, atau yang biasa kita tau dengan "Hari Kebenaran Internasional" yang rutin dirayakan setiap tanggal 24 maret ini menjadi pengingat sekaligus menjadi tamparan keras untuk pemerintahan indonesia yang belum serius dalam menanggapi kasus HAM pada masa lalu dan pemerintah indonesia dinilai belum bisa memenuhi hak-hak dari korban HAM di masa lalu kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang sampai sekarang masih belum terselesaikan adalah 1. Peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997 dan 1998 2. Kasus penembakan mahasiswa Trisakti tahun 19983. Kasus Wasior dan Wamena pada tahun 2001 dan 2003Contoh kasus di atas sebagai bukti bahwa pemerintah Indonesia dinilai belum serius dalam menanggapi kasus HAM yang terjadi. Banyak dari keluarga korban yang masih menanggung beban dan diskriminasi dari masa penyelesaian kasus HAM yang terjadi ini baiknya pemerintah indonesia lebih serius dalam melakukan penindakan yang lebih serius pada kasus HAM berat yang terjadi di masa lalu tersebut. Dan seperti yang di dorong oleh elsam, pemerintah indonesia harus melakukan 1. Presiden joko widodo, atas nama pemerintah indonesia, harus segera mengakui, menyesali. Dan melakukan permintaan maaf secara resmi, atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, dan melakukan tindakan mendalam dengan berbagai agenda penyelesaian yang menyeluruh baik secara yudisial maupun non Presiden segera menindaklanjuti komitmen dan rencana pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, sebagai bagian dari upaya penyelesaian. Hal ini penting untuk memastikan adanya proses pengungkapan kebenaran serta pemulihan yang efektif bagi korban dan keluarga korban Presiden selaku pemimpin tertinggi pemerintahan harus memastikan Jaksa Agung untuk bekerja sesuai dengan mandatnya, dengan mengacu pada prinsip-prinsip negara hukum "The Rule Of Law" untuk menindak lanjuti berbagai hasil penyelidikan Komnas HAM. Hal tersebut juga untuk mendorong adanya konsolidasi di antara institusi negara dan pemangku kepentingan lainya, seperti Komnas HAM, Komnas Perlindungan Perempuan, lembaga perlindungan saksi dan korban, dan masyarakat sipil dalam upaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia padamasa lalu 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya 6TIyY.
  • xflui7f2x4.pages.dev/582
  • xflui7f2x4.pages.dev/324
  • xflui7f2x4.pages.dev/415
  • xflui7f2x4.pages.dev/922
  • xflui7f2x4.pages.dev/38
  • xflui7f2x4.pages.dev/259
  • xflui7f2x4.pages.dev/322
  • xflui7f2x4.pages.dev/469
  • xflui7f2x4.pages.dev/222
  • xflui7f2x4.pages.dev/477
  • xflui7f2x4.pages.dev/5
  • xflui7f2x4.pages.dev/410
  • xflui7f2x4.pages.dev/563
  • xflui7f2x4.pages.dev/244
  • xflui7f2x4.pages.dev/980
  • upaya penyelesaian kasus pelanggaran ham